Membentuk Disiplin Positif Di Kelas Konstruksi Tes

KONDISI AWAL

Salah satu situasi yang tidak menyenangkan bagi saya adalah ketika ada mahasiswa yang memrotes nilai di akhir semester. Perasaan antara saya yang tidak mampu memberikan penilaian hasil belajar yang adil, atau justru jengkel karena protes-protes itu cukup mengganggu waktu dan pikiran. Kembali harus membuka berkas nilai, bertemu dengan mahasiswa tersebut untuk menjelaskan duduk perkaranya, hingga mengganti nilai di Sistem Informasi Akademik (Siakad) kampus apabila diperlukan. Namun dalam kasus lain, ada juga mahasiswa yang memrotes nilai temannya. Dalam arti, ia tidak terima jika temannya memiliki nilai yang sama sepertinya, padahal kontribusi mereka dalam kelompok berbeda. Penugasan kelompok memang rawan terjadi pembagian tugas yang tidak rata. Semakin besar jumlah anggota kelompok, maka semakin mungkin ada anggota yang tidak optimal bekerja. Maka saya senang hanya membentuk 3 – 4 orang orang per kelompok dalam sebuah penugasan.

Mata kuliah yang akan saya ceritakan kali ini adalah “Konstruksi Tes” di semester 6. Secara umum, kuliah ini berisi langkah-langkah penyusunan seperangkat tes kognitif untuk siswa. Tes yang dimaksud bisa berupa kuis, UTS, UAS, atau keperluan asesmen pelajaran lainnya. Bobot materi kuliah ini menengah, tidak terlalu sulit jika benar-benar mengikuti perkuliahan dengan baik, tetapi juga tidak terlalu mudah karena membutuhkan perhatian pada detail, ketekunan serta ketelitian kerja. Tugas yang saya berikan kontinyu dari satu pertemuan ke pertemuan selanjutnya, hingga batas terakhir pengumpulan adalah di akhir semester (dengan pengecekan separuh laporan di tengah semester).

Kami sepakat membentuk kelompok beranggotakan masing-masing empat orang. Sasaran saya adalah mahasiswa mampu bertanggung jawab sendiri atas perencanaan kegiatan, proses pengerjaan, hingga hasil laporan kelompok. Saya tekankan di awal, tidak ada lagi drama teman yang kecewa dengan anggota lain karena tidak ikut mengerjakan, keluhan-keluhan sulit bertemu untuk mengerjakan tugas, kendala teknis masalah hilangnya file, kegagalan mencetak laporan, dan lain-lain.

TANTANGAN

Tantangan yang saya dan mahasiswa rasakan adalah kami harus keluar dari zona nyaman, yaitu cuek terhadap proses belajar di luar kelas. Apalagi saya harus terus mendorong diri sendiri untuk menyeimbangkan antara orientasi pada proses dan orientasi pada hasil. Bagi saya, sama pentingnya antara kualitas proses dan hasil belajar. Perlu mendobrak juga kebiasaan beberapa mahasiswa yang memiliki karakter menggantungkan pada teman, enggan berusaha, tidak senang membaca buku, serta minim partisipasi dalam diskusi kelompok.

AKSI

Untuk menyukseskan sasaran belajar tersebut, saya berstrategi dengan memandu mahasiswa membuat tabel pembagian tugas kelompok. Tabel tersebut terdiri dari nama mahasiswa, perencanaan tugas, realisasi pengerjaan tugas, serta persentase kontribusi terhadap kelompok. Bagian perencanaan tugas disusun sejak sebelum dimulainya kegiatan, sedangkan realisasi dan persentase kontribusi ditulis di akhir ketika laporan hasil dibuat.

Saya membebaskan mahasiswa untuk merencanakan sendiri kegiatan kelompoknya. Siapa mengerjakan bagian apa, seberapa banyak, dan tenggat waktunya berapa lama. Tabel pembagian tugas mereka berbeda-beda tiap kelompok. Ada yang bagian membuat kisi-kisi soal sendiri, mengumpulkan referensi sendiri, membuat aitem-aitem tes sendiri, menganalisis skor tes sendiri, dan penyunting akhir sendiri. Namun, ada pula yang per bagian tes dikerjakan 2 – 3 orang. Bahkan ada juga yang menuliskan bahwa seluruh anggota kelompok wajib mengerjakan setiap bagian atau langkahnya bersama-sama, mulai awal sampai akhir.

Gambar 1: Contoh Tabel yang Dibuat Mahasiswa Sendiri

Gambar 2: Contoh Tabel 2

Gambar 3: Contoh Tabel 3

Berdasarkan tabel mahasiswa itu, saya senang mereka mampu menentukan dan mengarahkan tindakannya sendiri berdasarkan kesepakatan kelompok, yang mana ini juga merupakan ciri dari merdeka belajar.

Setiap pertemuan, saya tak bosan mengingatkan mengenai komitmen belajar mahasiswa agar saling mendukung untuk dapat menyelesaikan penugasan mata kuliah ini dengan baik. Saya mengajak mereka untuk berempati terhadap anggota kelompok lainnya. Apabila yang lain bekerja, ia pun wajib turut bekerja. Saling membantu, saling memberi masukan, saling melengkapi. Tak lupa saya sisipkan pesan bahwa barangsiapa membantu memudahkan urusan orang lain, maka urusannya sendiri akan diselesaikan oleh Tuhan.

Urusan nilai tugas menjadi bagian terakhir dalam pembahasan kami sehari-hari. Saya enggan memberikan sogokan berupa iming-iming nilai baik jika kontribusinya besar dan nilai buruk jika kontribusinya kecil. Prinsipnya, jika saya berpikir segala sesuatu berakhir di nilai ujian, maka mahasiswa pun hanya akan berorientasi mendapatkan nilai yang bagus, apapun caranya. Padahal saya ingin menumbuhkan kesadaran bahwa berdisiplin pada rencana dan kemampuan bekerjasama yang baik akan membuahkan hasil yang memuaskan.

PELAJARAN

Akhirnya, saat Ujian Akhir Semester (UAS) pun tiba. Saya melakukan ujian lisan dengan harapan mampu mengidentifikasi secara cermat kemampuan per siswa atas materi yang telah kami pelajari dalam satu semester ini. Saya juga mengecek tabel akhir pembagian tugas kelompok tersebut.

Saya kira, mahasiswa telah berlaku jujur dan adil dalam memberikan penilaian pada tabel itu. Untuk kelompok yang memang mengerjakan secara bersama-sama, masing-masing dari mereka menuliskan apa saja yang telah dikerjakan dan persentasenya 25% jika jumlah anggotanya empat orang. Adapun beberapa kelompok lain yang saya temui, ternyata mereka berani menuliskan kontribusi temannya hanya 10%, 17,5%, 20% dan seterusnya. Sedangkan yang merasa benar-benar bekerja, apalagi tidak banyak mendapatkan bantuan dari anggota kelompok yang lain, berani menuliskan persentase untuk dirinya 30% – 80%. Keberanian mereka untuk terbuka dalam mengevaluasi proses belajar lebih penting daripada angka-angka itu sendiri.

Dari mana saya tahu bahwa mereka jujur menuliskannya? Secara umum, dari ekspresi wajah saat saya mengonfirmasi angka-angka tersebut. Ketika seluruh anggota kelompok yakin mereka telah bekerjasama dengan baik, mereka tampak antusias dalam menceritakan prosesnya. Sebaliknya, ketika mereka sendiri tidak yakin atau menutupi sesuatu, biasanya ekspresinya gamang atau saling memandang temannya. Dan khusus untuk kelompok-kelompok yang berbeda jauh persentasenya antara satu anggota dengan yang lain, ekspresinya lebih aneh lagi. Perpaduan antara canggung, kepalang malu dengan temannya, dan merasa bersalah. Terakhir, untuk membuktikan apakah kontribusi besar dalam kelompok berkorelasi positif dengan pemahaman materi, saya menguji masing-masing dengan tanya jawab mengenai isi laporan. Mulai dari teori, rumus, dan logika analisisnya. Dan secara umum, ya… ada hubungan antara yang bekerja sungguh-sungguh dengan dalamnya pemahaman materi.

Selamat tinggal “drama-drama” yang tidak penting dalam kuliah! Mahasiswa lega telah bekerja dengan baik, jujur dalam memberi nilai kontribusi sendiri, dan merasa adil karena saya langsung memberikan nilai UAS saat itu juga, di hadapan mereka, begitu tanya jawab lisan selesai. Saya juga turut meyakinkan bahwa saya memberi nilai salah satunya berdasarkan tabel yang telah mereka buat sendiri. Artinya, sejak awal semester sudah mengerti tanggung jawab masing-masing, dan di akhir semester mau tidak mau harus menerima konsekuensinya secara adil.

Tulisan ini kali pertama diterbitkan di Surat Belajar Guru Belajar Edisi ke-3 Tahun Ketiga, Juni 2018, oleh Komunitas Guru Belajar Nusantara, dengan judul “Tabel Rencana dan Realisasi Belajar untuk Membentuk Disiplin Positif Mahasiswa”.

2 thoughts on “Membentuk Disiplin Positif Di Kelas Konstruksi Tes”

  1. Perasaan antara saya yang tidak mampu memberikan penilaian hasil belajar yang adil, atau justru jengkel karena protes-protes itu cukup mengganggu waktu dan pikiran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *