AWAL
Ruang kelas kuliah kebanyakan membosankan. Persegi panjang, dengan kursi lipat sekaligus meja yang disusun menghadap ke depan sejumlah 45 buah. Kursi dan meja dosen berada di depan, dekat stop kontak dan kabel LCD proyektor, juga papan tulis putih. Saya berpikir, sejak SD hingga kuliah, ruangnya begini saja. Tidakkah mahasiswa bosan? Saya saja sebagai dosennya bosan.
Apa yang terjadi jika pengaturan ruang kelas sedemikian kaku? Pembelajaran akan berpusat pada dosen saja, atau yang lebih dikenal dengan sebutan teacher-centered learning. Bagaimana tidak, jika seluruh mahasiswa menghadap ke depan, mengharapkan dijejali pengetahuan yang sumbernya hanya satu, dosennya? Interaksi antarmahasiswa juga menjadi terbatas. Paling jauh, mahasiswa hanya bisa melakukan kontak dengan teman depan, samping kiri, kanan, dan belakangnya. Itupun jika tidak ditegur oleh dosennya ketika menoleh ke belakang atau berbisik-bisik. Mau sampai kapan pengaturan kelas akan seperti ini?
TANTANGAN
Tantangan pertama yang saya rasakan adalah mahasiswa sudah nyaman dengan kebiasaan yang dibentuk lembaga pendidikan selama ini. Datang, duduk mengambil tempat yang disukai, mendengarkan dosen ceramah, mencatat (bila mau, lebih seringnya mengopi file), mencuri-curi waktu menggunakan telepon genggam, lalu pulang. Apa serunya belajar?
Tantangan ke dua, saya belum banyak mendapatkan contoh nyata bagaimana menggunakan cara-cara atraktif dalam mengelola kelas, khususnya pengaturan tempat duduk. Hal ini memengaruhi saya. Yang mana di satu sisi ingin berinovasi dalam hal strategi mengajar, tapi di lain sisi juga kurang tahu bagaimana melakukannya.
AKSI
Untuk menjawab tantangan tersebut, saya melakukan beberapa upaya dalam lingkup kecil, yaitu kelas yang saya ampu. Dalam mata kuliah Psikologi Perkembangan misalnya, saya memberikan tugas kelompok berupa merangkum materi dengan cara membuat lagu, puisi, poster, atau drama. Tidak mungkin dong, kursinya menghadap depan semua? Saya bilang, “Silakan berkumpul dengan anggota kelompok, terserah mau duduk bagaimana.” Akhirnya ada mahasiswa yang memutar kursi membentuk lingkaran, ada yang memilih duduk di lantai, ada yang senang berjongkok, bahkan ada yang berdiri. Ketika kuis, yang mana ini kuis benaran seperti di TV, kami bermain ular tangga raksasa dan lari-larian di kelas. Kursi dipinggirkan ke tembok semua hingga membentuk huruf U besar mengelilingi kelas. Dengan pengaturan yang demikian, ruang tengah kelas yang kosong dapat kami manfaatkan lebih leluasa.
Berbeda lagi untuk mata kuliah Psikologi Industri dan Organisasi, di mana kami mendapat ruang aula rektorat untuk kuliah selama satu semester. Panggung di depan, kami jadikan tempat presentasi hasil kerja kelompok. Saking lucunya, ada yang bercerita mirip komedian tunggal (standup comedian), menyanyi sambil tertawa-tawa, juga memaparkan poster yang berwarna-warni di panggung dengan bantuan mikrofon. Mereka juga meneriakkan yel-yel untuk membangkitkan semangat terlebih dahulu. Suasana kelas seru sekali. Untuk praktik kegiatan wawancara kerja, saya mengatur kursi berhadapan, masing-masing dua orang. Di kegiatan ini, mereka bermain peran. Yang satu berperan sebagai HRD perusahaan, yang satu sebagai pelamar kerja.
Sedangkan di mata kuliah Psikologi Umum pada semester satu, saya mencoba strategi belajar Window Shopping. Dalam aktivitasnya, Window Shopping mensyaratkan mahasiswa membaca dan membuat materi terlebih dahulu per kelompok. Ada anggota kelompok yang ditunjuk menjadi penjaga toko, ada yang berkeliling di kelompok lain sebagai pembeli. Belanjanya adalah “ilmu”. Tentu strategi belajar ini membutuhkan pengaturan ruangan khusus. Per kelompok dalam menyiapkan materi duduk melingkar, boleh di atas kursi maupun di lantai. Selanjutnya dalam berbelanja ilmu di kelompok lain, cara presentasinya si pemilik toko bebas. Boleh di lantai, di kursi, duduk, berdiri, berjongkok, atau yang lain. Yang saya lihat, mahasiswa lebih nyaman presentasi dengan berdiri. Kertas plano ditegakkan, dipegang oleh anggota kelompoknya. Sedangkan presenter menjelaskan dengan berdiri isi materinya.
PERUBAHAN
Dengan adanya ragam pengaturan kelas yang berbeda pada setiap pertemuan, mahasiswa menjadi menunggu-nunggu akan ada apa lagi nih di pertemuan selanjutnya. Mereka juga paham bahwa belajar itu bisa dengan menyenangkan sekaligus bermakna. Materi tersampaikan, dan suasana kelas santai. Keakraban antarmahasiswa dan antara dosen-mahasiswa terjalin lebih baik. Karena dengan begitulah, kami dapat memanusiakan hubungan di kampus. Berelasi bukan hanya karena status dosen dan mahasiswa, tapi karena kami sama-sama manusia yang perlu saling memahami dan memberikan manfaat.
Tulisan ini kali pertama dipresentasikan dalam Temu Pendidik Nusantara 2018 di Jakarta, Konferensi Tahunan Komunitas Guru Belajar, dengan judul yang sama.
Apa yang terjadi jika pengaturan ruang kelas sedemikian kaku?
Ruang kelas kuliah kebanyakan membosankan.