Salah satu tugas utama dan (bisa jadi) terberat bagi perguruan tinggi adalah mengembangkan keilmuan. Tugas tersebut diemban oleh perguruan tinggi dengan semua sivitas akademika yang ada di dalamnya untuk menjaga marwah perkembangan ilmu pengetahuan. Disinilah perbedaan utama pendidikan di sekolah dasar, menengah, dan menengah atas dengan perguruan tinggi. Pendidikan di sekolah dasar, menengah, dan menengah atas yaitu transfer knowledge (pengetahuan). Sementara di perguruan tinggi adalah memastikan perkembangan ilmu tidak mengalami kemandegan atau tidak mengalami kejumudan ilmu.
Bagaimana agar ilmu tidak mengalami kemandegan? Tidak ada yang lain selain pengupayaan secara terus-menerus melakukan penelitian. Yaitu terus-menerus menemukan, mencari, mengamati, dan melihat fenomena-fenomena sehingga ditemukan temuan-temuan baru. Risetharus dilakukan terus-menerus dan berkelanjutan. Sebab, alam dan masyarakat mengalami perubahan. Perubahan alam yang disikapi dengan risetyang terus-menerus dan berkelanjutan akan menjadikan terus berkembangnya ilmu eksakta. Sementara, perubahan masyarakat yang ditanggapi dengan penelitian yang tiada berhenti dan berkelanjutan akan menjadikan ilmu humaniora (sosial) tidak mengalami kemandegan.
Ilmu alam yang merujuk kepada hukum-hukum pasti, berlaku bagi umum atau general, dan berlaku di mana pun dan kapan pun saja mengalami perkembangan. Apalagi ilmu humaniora yang gerak perubahannya lebih dinamis. Alam dan masyarakat mengalami perubahan, apabila tidak diimbangi dengan gerak keberlanjutan risetmaka kemandegan ilmu akan menjadi keniscayaan. Bayangkan, alam dan masyarakat berubah, tetapi ilmu mandeg. Dengan demikian, ilmu tidak lagi mampu menjawab perubahan dan perkembangan alam dan masyarakat. Maka, kemungkinan ilmu akan ditinggalkan oleh manusia menjadi bisa saja terjadi.
Lalu, apa kebutuhan mendasar agar risetbisa terus dilakukan? Salah satunya adalah membekali para mahasiswa agar peka menangkap fenomena, sekaligus mempertajam kemampuan menemukan, mencari, mengamati, dan melihat fenomena. Dan bekal itu ada di lapangan, di masyarakat sebagai pusat kebermunculan ilmu dan sekaligus sebagai penerima manfaat ilmu. Maka, para kaum akademisi yang hanya berada di kampus harus rendah hati mau belajar kepada lapangan, kepada masyarakat, dan bukan sebaliknya.
Bagaimana dengan psikologi? Sebagai sebuah ilmu yang mengkaji perilaku dan proses mental manusia, dan tergolong dalam ilmu humaniora. Psikologi sangat bergantung kepada manusia sebagai individu, dan kumpulan manusia sebagai masyarakat. Baik perilaku individu maupun perilaku masyarakat adalah denyut jantung bagi psikologi, dan perkembangannya. Bagaimana para ilmuwan psikologi bisa menemukan, mencari, mengamati, dan melihat fenomena perilaku untuk menemukan temuan-temuan baru? Sementara, para ilmuwan psikologi emoh (tidak mau) rendah hati belajar dan melebur bersama masyarakat. Bagaimana psikologi sebagai ilmu akan terus mengalami keberlanjutan? Sementara, para ilmuwan psikologi memilih asyik di balik meja dan di dalam ruangan tanpa mau ke lapangan?
Kuliah lapangan ini adalah wujud dari kesadaran atas tugas dan tanggung jawab keilmuan dan kerendahhatian bahwa belajar (yang hanya) di ruang kelas justru akan mempersempit wacana kepsikologian dan bisa berdampak kemandegan ilmu psikologi itu sendiri. Kuliah lapangan ini sebagai upaya membekali mahasiswa untuk peka terhadap fenomena-fenomena perilaku di masyarakat, sehingga terangsang daya untuk melakukan riset. Dengan kuliah lapangan ini mahasiswa diharapkan menjadi terlatih menemukan, mencari, mengamati, dan melihat perilaku manusia berdasarkan kepada konteks di lapangan. Kuliah lapangan ini adalah laku (proses) belajar mahasiswa untuk mengasah dan mempertajam kepsikologian secara riil. Yaitu, nglakoni dewe (melakukan sendiri), ngerti dewe (mengerti sendiri), krasa dewe (merasakan sendiri), dan weruh dewe (memahami sendiri).
Psikologi yang terus berkembang, temuan-temuan penelitian terbaru yang terus dihasilkan dengan berdasarkan konteksnya akan menjadikan psikologi selalu hidup di denyut jantung masyarakat. Dengan demikian, kebermanfaatan psikologi kepada masyarakat luas tidak akan mandeg. Psikologi, benar-benar akan dapat memberikan kesejahteraan kehidupan bagi masyarakat luas.
Kuliah lapangan kelas Psikologi Sosial Terapan kali ini bertemakan “Psikologi Multikultural”. Para mahasiswa belajar langsung kepada warga di Dusun Sumberjo, Desa Jambu, Kecamatan Kayen Kidul, Kabupaten Kediri. Mahasiswa live in selama tiga hari dua malam, dibagi beberapa kelompok. Setiap kelompok menginap di rumah warga yang lintas agama. Dusun Sumberjo adalah sebuah dusun multiagama, yang didalamnya ada empat agama berbeda (Islam, Katolik, Kristen, dan Hindu), dan terdapat empat tempat ibadah. Meskipun multiagama, para warga hidup dengan guyub rukun dan gotong royong.
Live in, menjadikan mahasiswa merasakan langsung dinamika psikologis para warga (minimal tempat yang diinapi), dan mahasiswa juga mengalami dinamika psikologis disaat menginap di rumah warga yang kebetulan berbeda agama.
“Terus terang, saya mengalami perang batin selama menginap dan berinteraksi dengan tuan rumah. Saya muslim, tetapi tuan rumah Hindu. Apakah sholat saya di rumahnya diterima Allah? Tetapi perang batin ini akhirnya mendapatkan jawaban di akhir kuliah lapangan, bahwa konteksnya adalah hablum-min-annas”, ungkap salah satu mahasiswa bernama Aris Nabhani, seorang mahasiswa yang sekaligus santri di Pondok Pesantren Lirboyo.
Banyak testimoni dari mahasiswa seputar dinamika psikologis selama live in di lapangan. Pun testimoni kebermanfaatan dan keberlimpahan pengetahuan yang didapatkan dari warga secara langsung selama melakukan interaksi tiga hari dua malam terkait psikologi multikultural. Perang batin yang dirasakan oleh Aris Nabhani adalah kekayaan pengalaman hidup yang bisa saja tidak akan terlupakan, sekaligus bekal baginya dalam hidup riil bersama masyarakat yang notabene beragam. Para mahasiwa dengan kuliah lapangan, benar-benar sedang nglakoni dewe (melakukan sendiri), ngerti dewe (mengerti sendiri), krasa dewe (merasakan sendiri), dan weruh dewe (memahami sendiri) terkait psikologi multikultural.
Bagaimana agar ilmu tidak mengalami kemandegan?