Kuliah Rasa Pelatihan Sungguhan

KONDISI AWAL

Siang itu panas sekali. Hujan belum juga turun. Sebetulnya sudah masuk musim penghujan. Namun entah kenapa musim seolah datang dan pergi sesuka hati.

Saya sedikit lunglai karena pagi hari telah terkuras mengikuti rapat mendadak. Kalau menurutkan kata hati, ingin rasanya tidur siang saja. Tapi saya mengingat rencana pembelajaran yang cukup seru untuk dijalankan di kelas, akhirnya saya tetap masuk. Dengan membawa beberapa lembar kertas karton, spidol warna-warni, dan selotip kertas, saya naik ke lantai 4 kampus.

Mata kuliah “Desain Pelatihan” yang saya ampu sudah menjelang akhir. Materi yang akan saya ceritakan kali ini adalah Metode dan Tahap Pelatihan di semester tujuh. Saya bertanggung jawab untuk menyampaikan apa saja sih metode yang dapat digunakan oleh pelatih (trainer) ketika membawakan sebuah pelatihan kepada trainee atau karyawan perusahaan. Oya, konteks mata kuliah ini adalah untuk peminatan Psikologi Industri dan Organisasi. Kami memelajari bagaimana pikiran, perasaan, dan perilaku individu dalam konteks pekerjaannya.

Sasaran yang ingin kami tuju adalah mahasiswa mengenali ragam metode dan tahap pelatihan. Dan saya berpikir, jika menyampaikan teori saja dengan power point dan mereka mendengarkan, tentu pemahamannya tidak sebesar ketika praktik langsung. Sehingga saya merancang perkuliahan hari itu dengan beberapa teknik belajar yang mengarah pada sasaran tersebut.

TANTANGAN

Tantangan yang jelas terasa siang itu adalah hawa yang panas sekali. Saya mencoba untuk pindah keluar kelas dengan harapan lebih dingin. Ternyata tidak juga, malah lebih panas. Sementara untuk kembali ke kelas, akan lebih ribet lagi. Jadinya saya ngotot untuk tetap di luar. Haha… mungkin ini salah satu kesalahan saya yang akhirnya menimbulkan beberapa akibat. Nanti akan saya sampaikan di refleksi.

Tantangan ke dua adalah tidak adanya kursi di luar kelas. Sehingga semua kegiatan praktis dilakukan dengan berdiri dan duduk. Lalu dengan tiadanya proyektor LCD, saya juga harus mengandalkan kemampuan komunikasi verbal untuk menyampaikan materi sejelas-jelasnya. Tidak ada papan tulis juga, jadi tidak bisa menambahkan penjelasan tertulis.

Tantangan ketiga, belum adanya pendanaan khusus untuk fasilitas belajar selain yang sudah dipasang di kelas: proyektor dan papan tulis. Jadi ketika dosen ingin berinovasi melakukan pembelajaran yang berbeda, harus mengadakan sendiri peralatan yang dibutuhkan. Jadi bisa dibayangkan jika dosennya banyak ide, banyak butuh sarana prasarana yang di luar kebiasaan, maka mereka harus keluar biaya sendiri. Hehe. Tapi karena kita guru merdeka belajar yah, jadi saya eliminasi saja istilah “berkorban” dari kamus. Yang ada adalah saya harus melakukan upaya apapun demi tercapainya tujuan belajar mahasiswa. Jadi saya mulai membeli sendiri kertas karton, spidol, selotip, dan post-it.

AKSI

Nah, bagaimana kami menjalankan perkuliahan 3 SKS pada pukul 13.00 – 15.30 WIB ini?

Sasaran belajar kami adalah memahami metode dan tahap pelatihan, yaitu icebreaking, permainan, pembentukan kelompok, asesmen kebutuhan belajar, metode bermain peran, diskusi kelompok terfokus (focused group discussion), presentasi, ceramah satu arah, dan refleksi hasil belajar. Jika saya paparkan materinya saja, setengah jam sudah selesai sih. Tapi agar lebih paham, maka praktik langsung adalah solusinya.

  1. Ice breaking. Pemecah es atau pencair kebekuan ini bermaksud untuk membuat suasana lebih rileks. Saat suasana masih bergemuruh karena panas dan saat terbaik untuk tidur di siang hari, maka sesederhana sapaan “Apa kabar? Gimana suasana kelas siang ini? Kenapa bisa panas banget dah?” Juga ketika ramai sekali, saya katakan dengan lirih, “Yang dengar suara saya, tepuk satu kali!” Hanya satu-dua orang yang bertepuk. Saya ulangi kembali, “Yang bisa dengar saya, tepuk dua kali!” Yang menyahut lebih banyak. Begitu seterusnya hingga semua mata terfokus pada saya yang akan memberikan arahan kegiatan belajar. Nggak perlu marah-marah kalau mahasiswa ramai, kan?
  2. Permainan. Saya membagikan post-it atau kertas tempelan warna-warni ke semua mahasiswa. Lalu mereka bertugas mencari temannya yang mendapatkan kertas dengan warna serupa. Setelah bertemu, mereka saling bertanya tentang hal unik apapun yang belum diketahui dari temannya. Menarik sekali, ternyata mereka bertanya semacam: apa motivasinya mau kuliah, pernah pacaran berapa kali, pernah diselingkuhi atau tidak, dan sebagai. Tawa pecah dimana-mana sambil saling menggoda.

Si A ternyata kuliah buat cari jodoh, buuu!” seru salah satu mahasiswa.

Si B belum pernah pacaran sama sekali buuu!” sahut yang lain.

  1. Pembentukan kelompok. Aktivitas bermain di tahap kedua di atas, berakhir pada dibentuknya kelompok berdasarkan teman yang diwawancarai tadi. Sekelompok terdiri dari 4 – 5 orang. Saya jarang membentuk kelompok lebih dari lima orang karena tidak akan efektif. Jadi tidak ada lagi protes karena berkelompok berdasarkan presensi, atau kalimat macam, “Duh, aku kok sekelompok sama dia… aku nggak mau ah sama dia…” Strategi berkelompok lebih mudah dilakukan ketika suasana hati sedang bahagia.
  2. Asesmen kebutuhan belajar. Pengetahuan tentang kebutuhan belajar mahasiswa menjadi hal penting digali sebelum pelajaran dimulai. Mengapa? Agar pelajaran berjalan lebih efektif. Pengetahuan dasar mahasiswa tentang materi hari ini, akan menjadi pijakan saya untuk menentukan proses belajar selanjutnya. Yang sudah tahu, tidak perlu dibahas. Atau cukup diulang seperlunya. Sebaliknya, jika ada pertanyaan yang ternyata di luar materi – dan ini sering terjadi – akan memantik saya juga untuk menyadari bahwa keingintahuan mahasiswa besar. Bahkan lebih jauh dari apa yang saya perkirakan dan persiapkan. Nah kegiatannya, mahasiswa mengisi post-it yang awal tadi dibagikan, lalu menempelkannya di dinding. Apa yang SUDAH diketahui tentang metode pelatihan dan apa yang INGIN diketahui hari ini.
  3. Metode bermain peran. Saya menyiapkan dua mahasiswa untuk sedikit bermain peran. Yang satu berperan sebagai pelatih zaman old, satunya lagi sebagai pelatih zaman now. Ide ini saya dapatkan ketika mengikuti pelatihan Guru Merdeka Belajar dari Kampus Guru Cikal. Yang membawakan saat itu Pak Ari Wibowo. Saya melakukan briefing di ruangan lain. Pelatih zaman old saya minta berperan sebagai orang yang begitu datang di kelas, langsung mulai pelatihan tanpa basa-basi.

Yak, selamat siang semuanya. Hari ini kita akan melakukan pelatihan komunikasi. Ada yang tahu apa itu komunikasi? Bapak yang ada di sana mau jawab? Oke, jadi komunikasi adalah blablabla…” Begitu peran yang dimainkan mahasiswa pertama. Ekspresi datar, komunikasi satu arah, langsung memberi perintah untuk melakukan ini itu, dan tidak bersemangat.

Sebaliknya, pelatih zaman now saya minta berperan sebagai orang yang ceria, antusias, melakukan dialog untuk mengetahui keadaan audiens, dan mencairkan suasana terlebih dahulu sebelum mulai kegiatan.

Selamat siang, bapak ibu semuaaaa! Bagaimana kabarnya nih? Sudah pada makan siang belum? Oke, hari ini kita mau pelatihan temanya apa? Nah, bapak yang bersemangat sekali dari tadi. Saya tanya ya. Apa sih yang sudah bapak ketahui tentang komunikasi?” Demikian peran mahasiswa kedua. Banyak melakukan dialog dengan peserta.

  1. Diskusi kelompok terfokus. Setelah bermain peran dan disimak oleh seluruh kelompok, masing-masing kelompok menuliskan apa perbedaan antara kedua pelatih tadi. Saya membagikan kertas karton besar dan spidol warna-warni dan spidol hitam besar, sehingga mahasiswa bisa berkreasi sesukanya bagaimana menuliskan hasil curah pendapatnya di kertas tersebut. Ada yang membuat tabel, gambar, simbol, atau kalimat. Saya meminta tiap kelompok memilih satu orang ketua, yang bertanggung jawab untuk mengaktifkan seluruh anggota. Artinya, jika ada anggota yang pasif, pemalu, jarang bicara, adalah tanggung jawab ketua untuk membuat semuanya terlibat dalam diskusi tersebut. Lucunya, ada yang salah fokus mengomentari akting temannya. Ada yang bilang kurang menjiwai, terlalu singkat, atau terlalu lebay sehingga mengganggu konsentrasi. Haha namanya juga bukan aktor profesional, kan ya.
  2. Presentasi. Hasil diskusi kemudian dipresentasikan oleh salah satu perwakilan yang disepakati oleh kelompok. Presenter perlu mempunyai suara yang keras, jelas, tegas, dan bahasanya mudah dipahami oleh orang lain. Ya… kita ingin mahasiswa punya kompetensi komunikasi yang mumpuni, bukan?
  3. Ceramah satu arah. Ceramah saya lakukan di akhir pertemuan saja. Saya merangkum apa yang sudah mahasiswa lakukan dan bahas selama pembelajaran berlangsung tadi. Saya juga menjawab beberapa pertanyaan yang belum terbahas dan tercakup dalam kegiatan sebelumnya. Misalnya, apakah metode outbound efektif untuk mengubah perilaku karyawan? Atau apakah menghadapi karyawan muda dan tua akan berbeda perlakuannya dalam pelatihan?
  4. Refleksi hasil belajar. Terakhir yang tidak kalah penting, tentu saja refleksi. Mengaca. Kami melakukannya dengan dialog. Dari serangkaian kegiatan yang dilakukan tadi, seberapa banyak menambah pemahaman mahasiswa terhadap materi yang jadi sasaran belajar? Berapa persen mahasiswa paham teori dan penerapan materi ini? Apa kelebihan belajar dengan cara seperti ini? Apa kelemahannya? Tantangan paling besar saat refleksi adalah dosen harus menguatkan mental akan kemungkinan jawaban terburuk yang dilontarkan mahasiswa. Haha… ya maklum lah, kan kita pengennya mendapat umpan balik yang membahagiakan. Tapi siapa tahu, kita sering merasa berhasil mengajar, tapi ternyata murid tidak berhasil belajar, kan? (mengutip kalimat di kaus Guru Merdeka Belajar).

Nah, serangkaian kegiatan 1 – 9 di atas adalah penjelasan materi kuliah yang langsung saya praktikkan menjadi aktivitas nyata. Demikianlah gambaran metode-metode yang dapat diterapkan dalam beragam pelatihan. Tentunya disesuaikan pula dengan tujuan pelatihan tersebut.

PERUBAHAN

Hasil akhir dari teknologi belajar yang saya terapkan dalam bentuk metode belajar ala pelatihan sungguhan ini, ternyata membuat mahasiswa lebih memahami materi daripada sekadar teori yang disampaikan secara konvensional. Umpan balik ini saya dapatkan melalui tanya jawab dengan beberapa sampel mahasiswa.

Istilah yang awalnya asing, menjadi lebih tergambar bagaimana penerapannya, bu.” Mereka bisa menyebutkan tahap dan ragam metode pelatihan dengan benar berdasarkan pengalaman belajar, tanpa harus melihat buku. Eksplorasi jawaban yang murni menggunakan daya pikir tingkat tinggi (higher order thinking skill) membuat mahasiswa tidak terpatok dengan jawaban yang ada di dalam buku. Mereka merasa punya kemerdekaan untuk berpendapat, tidak disalah-salahkan jika tidak sesuai dengan buku, dan semakin berani mengungkapkan idenya.

Cara belajar yang melibatkan setiap mahasiswa dalam kelas, memungkinkan saya merasa terikat dan memiliki momen belajar itu sepenuh waktu, bu.” Mahasiswa juga merasa menjadi lebih dekat dengan temannya yang selama ini belum akrab.

Sedangkan kelemahannya, hawa yang sangat panas memang mengganggu. Beberapa mahasiswa tampak resah dengan berulang kali mengelap keringat. Ada juga yang menyarankan agar saya menggunakan data mutakhir untuk semakin memperkaya wawasan mengenai materi yang dibahas pada hari itu. Sehingga tidak hanya normatif isinya, tapi juga sesuai perkembangan zaman.

Terima kasih ya, rekan-rekan mahasiswa. Umpan balik ini sangat berarti bagi perkembangan diri saya pribadi sebagai dosen. Semoga saya bisa mempertahankan hal yang sudah baik dan bisa menambal kekurangan sana-sini dari metode tersebut, sehingga lebih baik lagi ke depannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *